BAB KELIMA
Para Pablois menutupi kekhianatan Stalinis.
Krisis kepemimpinan kelas pekerja tidak pernah terungkap setajam seperti di Indonesia antara tahun 1963 dan 1965.
Nasib para buruh dan petani Indonesia tergantung kepada penanggulangan dan pengalahan arah kontra-revolusioner PKI yang mengikat kelas pekerja ke rejim nasionalis-burjuis Sukarno ketika angkatan bersenjata, dengan dukungan AS, mempersiapkan sebuah kudeta berdarah.
Stalinis-Stalinis PKI, dipimpin oleh sekretaris-jendral Aidit, berulang-ulang menuntut para pekerja dan petani untuk mengembalikan pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebunan yang telah mereka sita. Mereka kemudian bergabung dengan jendral-jendral angkatan bersenjata duduk dalam kabinet pemerintah Sukarno dan mendukung pelarangan aksi-aksi mogok kerja.
Bertambah jelas kalau para jendral sedang mempersiapkan sebuah kudeta berdarah, bertambah keras pemimpin-pemimpin PKI bekerja untuk menenangkan kelas burjuis dan angkatan bersenjata bahwa PKI menentang mobilisasi revolusioner rakyat.
Aidit berulang-ulang menyatakan bahwa aparatus negara di Indonesia tidak perlu dihancurkan tetapi dapat dirubah dari dalam untuk memperkuat “elemen-elemen pro-rakyat,” yang termasuk presiden Sukarno. Pemimpin PKI ini memberi ceramah-ceramah di sekolah-sekolah militer di mana dia menggembar-gemborkan “perasaan kebersamaan dan persatuan yang setiap hari bertambah kuat antara seluruh angkatan bersenjata republik Indonesia dan kelompok-kelompok lain rakyat Indonesia, termasuk para komunis.”
Kepemimpinan PKI hanya dapat mengajukan posisi-posisi ini karena para Pablois Indonesia bekerja sama kerasnya untuk mencegah para pekerja memisahkan diri dari para Stalinis. Mereka menentang keras pendirian sebuah kepemimpinan revolusioner yang baru.
Tanggung jawab untuk akibat kontra-revolusioner berdarah arahan ini dapat diusut secara langsung ke Kongres Reunifikasi Pablois di mana Partai Sosialis Pekerja (SWP) Amerika melakukan pemutusan dengan Komite Internasional Internasional Keempat dan bergabung dengan “Sekretariat Tergabung” Pablois Ernest Mandel.
Setelah memimpin perjuangan melawan likuidasionisme Pablois di tahun 1953, para pemimpin SWP di akhir 1950an makin lama makin menyerah ke tekanan perkembangan ekonomi cepat setelah Perang Dunia Kedua yang berlangsung dan tampak ketenangan kaum buruh. Mereka meninggalkan perjuangan untuk revolusi proletar yang dipimpin oleh partai macam Bolshevik dan mencari “persatuan kembali” dengan para radikal petit-burjuis dan Stalinis yang tidak puas. Di tahun 1963 mereka bergandeng tangan dengan para Pablois dalam menyatakan bahwa bukan saja partai-partai Stalinis, seperti PKI, tetapi juga kekuatan-kekuatan nasionalis-burjuis di negara-negara berkembang, seperti Castro di Kuba dan Sukarno di Indonesia dapat menjadi sarana penyataan sosialisme.
Resolusi pemersatuan kembali ini menyatakan bahwa tidak ada krisis kepemimpinan revolusioner di negara-negara tertindas: “Di negara-negara kolonial dan semi-kolonial…kelemahan kapitalisme, seluruh struktur sosio-ekonomis yang aneh yang dihasilkan oleh imperialisme, kesengsaraan permanen sebagian besar populasi dalam ketidakadaanya revolusi radikal agraris, stagnasi dan malah menurunnya standar kehidupan sementara industrialisasi berjalan dengan cepat secara relatip, menciptakan situasi-situasi di mana kejatuhan satu gejolak revolusi tidak secara otomatik menciptakan stabilisasi ekonomis dan sosial yang relatip atau sementara. Sebuah rentetan perjuangan-perjuangan rakyat yang tampaknya tak ada habisnya terus berlangsung, seperti dialami Bolivia selama 10 tahun.”
Dalam kata lain, bagaimanapun menghancurkannya kekalahan-kekalahan dan pengkhiatan-pengkhianatan yang dibebankan kepada rakyat, mereka akan bangkit kembali. Tidak ada perlu untuk partai Trotskyis. Sifat kriminal dari kepuasan diri oportunis ini akan segera ditunjukkan dalam darah rakyat Indonesia.
Konperensi tahun 1963 ini didasarkan atas penolakan kepentingan bersejarah pembangunan seksi-seksi pergerakan Trotskyis di negeri-negeri terbelakang. Resolusi Pablois mengatakan: ”Kelemahan musuh di negeri-negeri terbelakang telah menciptakan kemungkinan untuk merebut kekuasaan meskipun dengan instrumen tumpul.”
Di Indonesia, “instrumen tumpul” ini adalah PKI.
Pengkhianatan besar di Sri Lanka
Kekhianatan Pablois di Indonesia adalah sangat berhubungan dengan pengkhianatan besar di Sri Lanka di tahun 1964 ketika Partai Lanka Sama Samaja (LSSP), organisasi Pablois, memasuki koalisi burjuis Ibu Bandaranaike, bersama dengan para Stalinis Partai Komunis Sri Lanka, untuk memenggal pergerakan massa kaum buruh melawan kekuasaan kapitalis.
LSSP telah menentang pembentukan Komite Internasional di tahun 1953 dan mengikuti itu memainkan peranan penting dalam mempersiapkan persatuan kembali SWP Amerika dengan para Pablois. Pertentangan mereka terhadap perjuangan menentang oportunisme dalam Internasional Keempat berakar di orientasi mereka yang makin bertambah nasionalis dan peninggalan program dan prinsip-prinsip Trotskyis untuk mengakomodasi para Stalinis dan partai kapitalis Bandaranaike SLFP di Ceylon (Sri Lanka).
Konggres Reunifikasi Pablois di tahun 1963 menutupi oportunisme nasional LSSP dengan mengajukan:”Seksi Ceylon kita sudah perlahan-lahan membetulkan orientasi salah yang diadopsi di tahun 1960 yang mendukung pemerintahan burjuis-liberal SLFP. Sejak rakyat mulai beraksi, mereka tidak ragu-ragu untuk menaruh diri mereka di kepala pergerakan ini melawan sekutu elektoral mereka yang kemarin.” Hanya setahun setelah itu aling-aling “Trotskyis” palsu yang diberikan oleh para Pablois digunakan oleh LSSP untuk memasuki pemerintahan kapitalis.
Pengkhianatan oleh sebuah partai yang dianjung-anjungkan oleh para Pablois sebagai “partai Trotskyis terbesar di dunia” ini mempunyai akibat yang membawa bencana di seluruh dunia, yang pertama di Indonesia. Itu memperkuat tangan partai-partai Stalinis dan Maois, seperti PKI, yang kemampuannya untuk menekan dan melucuti kaum buruh akan sudah hancur bila LSSP berpegang ke program revolusi permanen dan berjuang untuk penggulingan kekuasaan burjuis di Sri Lanka.
Pablois memperkuat PKI
Setelah masuknya seksi Sri Lanka mereka ke dalam pemerintahan kapitalis itu, dengan para Stalinis, para Pablois terus mengikuti arahan pro-Stalinis dan pro-burjuis-nasional yang sangat mirip di Indonesia.
Pamflet Pablois “Bencana di Indonesia” bukan saja menutupi peranan yang dimainkan oleh seksi Pablois Indonesia, Partai Acoma, seperti kita ungkapkan di bagian terakhir seri ini. Meskipun setelah kudeta berdarah di Indonesia, pamflet ini terus mengajukan kemungkinan kelas burjuis-nasional dan PKI dapat memainkan peranan progresif.
Itu termasuk sebuah artikel oleh T Soedarso, yang digambarkan oleh pemimpin SWP AS Joseph Hansen dalam kata depan pamflet ini sebagai “anggota muda PKI yang berhasil mengasingkan diri”. Hansen memuji secara bersemangat artikel Soedarso sebagai “tanda dari tekad sebuah sektor penting dalam PKI untuk mempelajari apa yang terjadi dan menggunakan pelajaran-pelajaran sehingga dapat menjamin kemenangan bila rakyat bergejolak maju lagi, yang pasti akan terjadi.”
Artikel Soedarso melihat program kontra-revolusioner kepemimpinan PKI sebagai sejumlah “kesalahan” termasuk “kekeliruan-kekeliruan…mencoba mendirikan sosialisme dengan jalan damai” dan untuk mengikuti “politik” teori revolusi dua tahap dan front tergabung dengan kelas burjuis-nasional.
Soedarso tidak mengutarakan perbedaan-perbedaan yang mendasar dengan para Stalinis, setuju, contohnya, bahwa “Pergerakan revolusioner dapat dan sebaiknya mendukung sikap-sikap atau aksi-aksi progresif kelas burjuis nasional.” Kalau bukti pernah diperlukan bahwa kelas burjuis semi-kolonial, dilambangkan oleh Sukarno, adalah pada dasarnya tidak mampu untuk melakukan program “progresif” tetapi akan mendukung pembantaian kelas pekerja, pertumpahan darah itu memberikannya. Selama 18 bulan Sukarno menjadi presiden boneka diktatur Jendral Suharto, dan setelah itu, mulai dari Maret 1967, dia dipertahankan sebagai “presiden tanpa kekuasaan”.
Para Pablois juga meremehkan pentingnya pemasukan PKI ke dalam koalisi NASAKOM Sukarno dengan para tukang jagal militer. Soedarso mengimbau PKI untuk membalik arahan ini, sepertinya itu hanyalah sebuah kesalahan kecil.
Peminta maafan Soedarso untuk kekhianatan kelas mendasar ini bukanlah kebetulan. Inti dari Pabloisme adalah pembalikan perjuangan Trotsky melawan Stalinisme. Evolusi Stalinisme menjadi sebuah birokrasi kontra-revolusioner ditetapkan tanpa keraguan di tahun 1933 ketika Komintern (Internasional Komunis) Stalinis menyetujui tanpa ada suara perlawanan satu pun kekhianatan Partai Komunis Jerman yang menyerahkan kelas buruh Jerman kepada Hitler tanpa adanya peluru melayang. Mulai dari saat itu Trotsky bersikeras bahwa Internasional Ketiga telah secara pasti menyeberang ke kamp burjuis, dan bahwa Internasional Keempat harus dibangun sebagai partai dunia revolusi sosialis untuk memastikan kelangsungan Marxisme.
Artikel Soedarso adalah sebuah penutupan secara sadar, yang diatur oleh Mandel dan Hansen, atas peranan reaksioner Stalinisme. Artikel itu secara sadar tidak menggunakan kata “Stalinisme”, tetapi secara curang memanggil PKI “Komunis”. Dan kemudian untuk membuat posisinya sangat jelas, Soedarso menyimpulkan:”Kecaman di atas tidaklah dimaksudkan untuk merusak peranan PKI atau untuk membangkitkan ketidakpercayaan kepada Komunisme Indonesia.”
Demikian, setahun setelah kudeta militer itu, pada saat mana satu juta pekerja dan petani sudah binasa, para Pablois sedang menutupi pelajaran-pelajaran tahun 1965 dan masih menganjurkan para pekerja dan petani Indonesia untuk tetap mempercayai PKI.
`Pelajaran-Pelajaran` Pablois Indonesia
Artikel Soedarso bukanlah sebuah contoh terisolasi. Kenyataannya arah yang diajukan di artikel itu memberikan tema-tema penting sebuah pernyataan yang diterbitkan tanggal 20 Maret 1966 oleh “Sekretariat Tergabung” Pablois. Berjudul “Pelajaran-Pelajaran Indonesia”, itu menentang segala pemisahan dari PKI dan tidak mengeluarkan panggilan untuk pembangunan sebuah seksi Internasional Keempat. Sebaliknya, itu menyatakan bahwa “Komunis-Komunis Indonesia” dapat “menanggulangi akibat dari kekalahan saat ini” dengan mengasimilasi pelajaran-pelajaran tertentu.
“Pelajaran” pertama diajukan secara berikut:”Walaupun itu benar dan penting untuk mendukung semua pergerakan-pergerakan rakyat anti-imperialis, dan bahkan mendukung secara kritis semua tindakan-tindakan yang dilakukan oleh wakil-wakil kelas burjuis kolonial seperti Sukarno, untuk sebuah revolusi kolonial mendapat kemenangan, itu adalah sangat penting untuk mempertahankan kemandirian organisasi-organisasi proletar secara politis maupun secara keorganisasian dari kelas burjuis nasional.”
Para Pablois bukan hanya mendorong ilusi-ilusi berbahaya tentang kepura-puraan “anti-imperialis” kelas burjuis nasional, kata-kata mereka tentang “kemandirian” politis organisasi-organisasi proletar adalah penuh dengan kepalsuan. Kemandirian politis kelas pekerja hanyalah dapat ditetapkan dengan membangun sebuah partai Trotskyis dalam perjuangan yang berani dan tak mengenal kasihan melawan para Stalinis yang sedang dicoba untuk disadarkan oleh para Pablois.
“Pelajaran” Pablois kedua mengajukan bahwa: “Meskipun itu benar dan penting dalam fase-fase pertama revolusi di negara-negara terbelakang untuk menekankan masalah pemenangan kemerdekaan nasional, mempersatukan negara dan menyelesaikan masalah agraris (yaitu, tugas-tugas bersejarah dari revolusi demokratis burjuis yang merupakan masalah yang paling penting di mata 80 percent sampai 90 percent populasi), itu adalah sangat penting untuk mengerti bahwa penyelesaian tugas-tugas ini hanyalah mungkin bila kelas buruh, dalam persekutuan dengan para petani miskin, telah memenangkan kepemimpinan revolusi, mendirikan diktatur proletar dan petani miskin dan mendorong revolusi itu ke fase sosialisnya.”
Dengan arah oportunis “dua fase”, para Pablois mencoba untuk menghidupkan kembali teori “dua-tahap” Stalinis yang telah kehilangan kepercayaan, yang menuntut “fase sosialis” revolusi ditunda sampai selesainya revolusi demokratis dan nasional. Arahan para Pablois adalah kebalikan dari teori Revolusi Permanen Trotsky yang didasarkan atas sifat internasional revolusi sosialis dan peranan revolusioner proletariat internasional. Trotsky menekankan pelajaran inti dari Revolusi Rusia bahwa, dalam jaman ini, tugas-tugas demokratis dan nasional di negara-negara terbelakang dan tertindas hanya dapat dicapai melalui revolusi proletar dan penyebarannya ke seluruh dunia.
Seruan para Pablois untuk “diktatur proletar dan para petani miskin” mencoba untuk menghidupkan kembali formula “Bolshevik Lama” tentang “diktatur demokratis proletar dan petani” yang diganti oleh Lenin di tahun 1917. Lenin mengadopsi posisi Trotsky yang tegas bahwa proletariat adalah kelas revolusioner satu-satunya yang dapat memimpin para petani dan melaksanakan tugas-tugas demokratis dan sosialis negara-negara terbelakang sebagai bagian dari perjuangan kelas buruh seluruh dunia.
“Pelajaran” ketiga yang diajukan oleh para Pablois adalah:”Meskipun itu adalah penting untuk memenangkan basis rakyat seluas mungkin di desa-desa, sebuahpartai revolusioner yang dapat melaksanakan politik ini haruslah berdasarkan atas kader proletar kuat yang dididik secara menyeluruh dalam teori dan praktek revolusioner Marxis.”
Sifat ganda dari “pelajaran” ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa itu ditujukan kepada para Stalinis. Penyebutan-penyebutan “kader proletar kuat” dan “teori Marxis” adalah palsu.
Kenyataannya, “Sekretariat Tergabung” menasehatkan anggota-anggota kepemimpinan PKI yang selamat untuk mengambil jalan perang gerilya di daerah pedesaan.
Pernyataan mereka menunjukkan harapan bahwa “apa yang tertinggal dari kepemimpinan dengan kader-kader partai yang selamat — terutama yang berpendidikan terbaik, mereka yang dikuatkan oleh pengalaman mengerikan yang mereka alami dalam enam bulan terakhir — akan mengambil jalan perang gerilya, jika hanya untuk pertahanan diri.
Mereka menganjurkan para Stalinis untuk berbelok ke perang gerilya yang menggunakan para petani, meniru para Maois di Cina. Maoisme adalah semacam Stalinisme, berdasar atas permusuhan para petani terhadap kekuasaan kelas buruh. Berasal dari kekalahan revolusi Cina dan penghancuran keanggotaan buruh Partai Komunis Cina di tahun 1926-27, pembelokan Mao ke arah para petani menghasilkan aborsi di tahun 1949 revolusi Cina. Itu menghasilkan negara buruh yang sangat cacat di kelahirannya yang berdasarkan atas “blok empat kelas” Mao — kelas burjuis nasional, kelas petit-burjuis urban, petani dan kelas buruh.
Itu adalah doktrin ini yang memandu kebulatan tekad Aidit dari kepemimpinan PKI untuk mencegah sebuah revolusi sosialis proletar di Indonesia. Dalam kata-kata Aidit: “Kelas buruh, petani dan kelas petit-burjuis dan kelas burjuis nasional haruslah bergabung dalam satu front nasional”.
Pamflet para Pablois adalah percobaan sinis untuk mengalihkan para buruh yang sadar akan kelasnya dari pelajaran yang paling penting dari pengkhianatan di Indonesia — pentingnya untuk sebuah partai Trotskyis untuk mengalahkan para Stalinis dan pembantu-pembantu Pablois mereka yang berfungsi sebagai agen-agen petit-burjuis kontra-revolusioner dalam pergerakan rakyat. Hanya ada satu partai revolusioner, dulu dan sekarang, yang dapat membalas pengkhianatan di tahun 1965 dengan membimbing kelas buruh Indonesia ke kekuasaan — sebuah seksi Indonesia Komite Internasional Internasional Keempat.
Kesimpulan
Di tahun 1951 kepemimpinan PKI telah menggambarkan secara jelas jalan pengkhianatan yang akan diikutinya. “Dalam perjuangan untuk menyatakan pendapat politis mereka, para komunis tidak akan menggunakan kekerasan sementara kelas penguasa masih membiarkan jalan damai, keparlemenan terbuka. Bila ada penggunaan kekerasan, pertumpahan darah, perang saudara, itu bukan para komunis yang memulai, tetapi kelas penguasa sendiri.”
Arahan kontra-revolusioner ini hanya dapat dibebankan kepada rakyat Indonesia karena para Pablois mengikat seksi-seksi yang paling sadar akan kelasnya ke panji-panji dan program PKI.
Pengkhianatan-pengkhianatan para Pablois di Sri Lanka dan Indonesia menunjukkan sifat kontra-revolusioner Pabloisme. Seperti Komite Internasional Internasional Keempat menyatakan dalam Arahan-arahan resolusi 1988-nya, Krisis Kapitalis Sedunia dan Tugas-Tugas Internasional Keempat: “Dalam bantuan yang mereka berikan kepada Stalinisme, sosial-demokrat dan nasionalisme burjuis, oportunisme para Pablois sentris memainkan peranan vital dalam memperbolehkan imperialisme menjalani tahun-tahun penting antara 1968 dan 1975 ketika orde dunia sedang tergoncang oleh gejolak ekonomi dan pergerakan internasional kaum buruh dan rakyat yang tertindas di negara-negara terbelakang. Ini membuktikan taksiran Trotsky tentang sentrisme sebagai agen sekunder imperialisme. Para pengalah petit-burjuis yang mengajar tentang nasib proletar yang akan selalu berakhir dengan bencana dan sementara itu menemukan pandangan-pandangan baru tentang kelas burjuis, tidak pernah menganalisa secara konkrit bagaimana kapitalisme yang sudah jompo dapat hidup sampai dekade 1980an. Para Pablois adalah yang paling tidak peduli untuk mempelajari hasil-hasil politik-politik mereka. Sebanyak-banyaknya semua persaudaraan petit-burjuis sentris, para radikal dan cendekiawan yang tidak berkelas menolak a priori kemampuan revolusioner kelas pekerja dan menerima kekalahan-kekalahannya sebagai sesuatu yang tak dapat dielakkan, mereka tidak pernah memikirkan bagaimana konsekuensi-konsekuensi sebuah politik Marxis yang benar akan bekerja di Sri Lanka di tahun 1964, di Perancis di tahun 1968, di Chili di tahun 1973, dan di Yunani dan Portugis di tahun 1974.
“Komite Internasional, sebaliknya, mengambil pengalaman-pengalaman strategis proletar dalam periode setelah Perang Dunia Kedua pelajaran-pelajaran penting yang akan menjadi dasar dari persiapan mereka untuk pergejolakan revolusioner yang akan datang: pembangunan Internasional Keempat sebagai Partai Dunia Revolusi Sosialis untuk memastikan kemenangan kelas buruh internasional memerlukan sebuah perjuangan yang tanpa henti dan tanpa kompromi melawan oportunisme dan sentrisme.
Sebuah kepemimpinan revolusioner yang baru harus didirikan untuk memimpin rakyat Indonesia untuk menghancurkan diktatur Suharto, menggulingkan kelas burjuis dan menghentikan pemerasan imperialis dalam perjuangan untuk revolusi sosialis sedunia. Menentang para Stalinis dan Pablois yang sedang mempersiapkan jebakan berdarah satu lagi untuk rakyat, seksi Indonesia dari Komite Internasional Internasional Keempat (ICFI) harus dibangun untuk memimpin perjuangan ini.
01 Oktober 2014 - orang-orang orde baru masih kuat mencengkeram bangsa.
selesai
0 komentar:
Post a Comment