Perang Tabuk, harus diakui merupakan peristiwa penyaring yang
membedakan dengan jelas, mana mukmin sejati dan mana orang munafik. Salah satu
sisi menampilkan karakter munafiq yang asli. Suatu karakter yang senantiasa
menjadi trouble maker bahkan ancaman bagi perjalanan da'wah Islam. Mereka -dalam
peristiwa Tabuk- tidak hanya sekedar pasif membela Islam, tapi sebaliknya,
mereka juga aktif dalam usaha merongrong Islam dari dalam. Lihatlah ketika
mereka tidak hanya sekedar mengajukan izin untuk tidak ikut pergi berperang.
Mereka bahkan menggembosi semangat kaum Muslimin, dengan nasehat beracun bahwa
cuaca sangat panas, sebentar lagi musim panen tiba, dan bahwa kekuatan Romawi
adalah kekuatan besar yang tidak mungkin bakal dapat ditumbangkan oleh kaum
Muslimin.
Namun di sisi lain terdapat suatu pemandangan yang sungguh
menakjubkan. Kaum Muslimin dengan segala kekuatan dan keterbatasan mereka-
terhanyut dalam satu aktivitas menyambut ajakan Rasul SAW. Ajakan ini bukanlah
sesuatu yang menjanjikan kemewahan hidup duniawi. Ajakan ini bahkan boleh dikatakan
-secara logika telanjang- menambah beban penderitaan yang selama ini telah
mereka pikul. Namun inilah potret Mukminin sejati, mendudukkan perintah Rasul
SAW di atas segalanya. Beban penderitaan, boleh jadi terpampang dihadapan
mereka, menjadi keniscayaan. Namun apakah arti dunia bila dibandingkan dengan
akherat. Apakah artinya penderitaan kalau itu mengundang ridha Allah SWT dan
Rasul-Nya. Maka terwujudlah pemandangan yang sangat indah... apapun akan mereka
korbankan demai Islam.
Pemandangan yang tak kalah indahnya adalah sebagaimana yang
ditampilkan oleh tiga orang yang diboikot, sebagai hukuman atas kelalaian
mereka, tidak ikut pergi berperang tanpa ada alasan yang dibenarkan. Mereka
sadar apa yang mereka perbuat adalah kesalahan yang besar. Di tengah hukuman,
kesetiaan kembali teruji. Datang fasilitas dari pihak ke 3 untuk menampung dan
menyelamatkan mereka dari boikot kaum Muslimin. Tetapi dengan tegar mereka
memilih dibenci teman sendiri ketimbang disayang oleh musuh.
Demikianlah, rentetan perjalanan Tabuk telah merekam bukti kokohnya
kesetiaan nenek moyang kita dahulu dalam memegang prinsip Islam, meski pedih
laksana bara. Peristiwa Tabuk -dan peristiwa-peristiwa lainnya saat itu- masih
menyisakan pertanyaan yang hingga kini belum terjawab, tarbiyyah/gemblengan
macam manakah yang ditanamkan Muhammad SAW kepada shahabatnya, sehingga
menghasilkan aqidah yang membaja, tak lekang oleh derita di jalan Allah SWT,
tak lapuk oleh kenikmatan duniawi. Wallahu a'lam bish shawab.
0 komentar:
Post a Comment